Rabu, 27 Agustus 2008

Dear Pak Made (mudahan nggak salah menyebut pak, karena saya juga ada teman kursus dulu yang bernama made tapi ibu)

Tulisan anda sungguh menggelitik saya untuk ikut berkomentar, sangat sejalan dengan apa yang saya usahakan dan jalankan, untuk merubah cara pandang dalam dunia bisnis. Sebagaimana diketahui bersama bahwa para pebisnis mengatakan bahwa bisnis itu tidak ada sekolahnya. Yang adalah sekolah yang senang mengutak atik kegiatan atau kebijaksanaan pebisnis.

Menurut pandang tempat kami berusaha merubah sudut pandang adalah:

Pertama sekolah yang ada dimana-mana, dinegara manapun adalah menididik orang untuk berlaku atau memikirkan “how to do” atau dengan kata lain bagaimana menyelesaikan masalah disuatu situasi tertentu. Jadi hasil didikan ini adalah menghasilkan profesional yang adalah penyelesai masalah alias pekerja. Pernahkan baca cerita orang bodoh mempekerjakan orang pintar. (orang bodoh adalah orang yang nggak selesai sekolah formalnya atau DO). Profesional akan selalu bertanya: “where is the plan”. Bila ada plan maka dia sanggup menjalankan dengan keprofesionalannya.

Kedua adalah orang yang berfikir “what to do”, dimana rangkaian what to do ini adalah menjadi suatu proposal bisnis dan lebih jauh merupakan sistim bisnis alias plan bisnis (Business Plan). Orang kedua ini selalu berfikir atau memikirkan apa yang harus diperbuat, dan sesudahnya apa dan apalagi. Rangkaian dari apa dan apa dan apa sehingga menghasilkan sesuatu penyelesaian masalah dalam hidup. Sebab dalam ekonomi, nilai ekonomi akan timbul dari adanya masalah, seperti Adam Smith bilang karena adanya kelangkaan (scarsy) lah timbulnya upaya penyelesaian masalah tersebut. Upaya ini butuh usaha atau biaya, usaha inilah yang mendatangkan hasil.

Orang kedua ini adalah pebisnis, orang yang menciptakan apa yang akan dikerjakan oleh ahlinya (profesional). Orang ini berfikir atau berlaku dalam penciptaan sistim atau plan. Plan inilah yang akan diserahkan untuk dikerjakan oleh profesional. Hal inilah yang kami coba jalankan atau perkenalan, bagaimana mengambil posisi sebagai orang yang kedua ini, berfikiran sebagai pebisnis, sebagai pencipta plan dan sistimnya. Cara pendekatan orang kedua ini sering kami singgung di http://darultda.blogspot.com .

Saya disini mohon izin bapak Made untuk dapat memuat tulisan pak Made dibawah didalam blog saya. Dan atas kerelaannya, saya mengucapkan terima kasih.

Salam
Darul
Jakarta

From: Made Teddy Artiana
Sent: 27 Agustus 2008 7:59

Nggak Sekolah ? So What Gitu Loh !!
By Made Teddy Artiana, S. Kom


"Gawat ! Adik gue DO, Mas", curhat salah seorang freelanche graphic designer yang bekerja pada kami. Berita yang tidak terlalu menarik sebenarnya dibanding aliran dana BI. "Emang dia kuliah dimana ?" sahut ku ngasal sekedar menanggapi. "Dia baru SMA. Karena hobby ngerakit motor. Dia jadi lupa sekolah dan akhirnya dipecat dari sekolah. Padahal sekolah khan mahal !!". Singkat cerita sang teman kemudian menceritakan lengkap tentang 'permasalahan' sang adik yang dia anggap sudah memusingkan keluarga. Akhirnya percakapan jadi menarik. Masih SMA dan dipecat gara-gara hobby nya dibidang automotif. Yang lebih menarik adalah ujung ceritanya (meskipun bukan berarti tamat). Sang adik akhirnya menciptakan sebuah motor. yang menjadi pemenang pertama perlombaan disebuah majalah otomotif terkenal.

Serupa tapi tak sama. Fenomena menarik dialami juga oleh artis Memes, istri Adie MS seorang composer ternama di tanah air. Anak mereka, tidak mau bersekolah lagi. Pasalnya, ia menganggap sekolah umum itu, tidak lain dan tidak bukan hanyalah buang waktu percuma. Kok bisa ? Begini penjelasan sangat-sangat logis sang anak. Ia hobby musik, cendrung tergila-gila dan ia ingin menghabiskan 50% waktu berharganya untuk mempelajari musik. Kalau saja ia terlahir dari keluarga yang buta musik, contoh dokter, pengacara atau bisnisman, mudah ditebak hal ini akan menyulut perang dunia dengan ortunya. Beruntung, anak ini punya mama penyanyi terkenal dan papa, komposer kenamaan. Jadi, walaupun tidak mudah (baca : tidak seperti yang lain), orang tuanya bisa mengerti.

Mirip dan agak menggelikan dibanding kedua contoh diatas. Sedari dulu, saya punya hobby mengumpulkan artikel dari berbagai media. Internet, koran atau majalah. Beberapa tokoh terfavoritepun masuk DPO (Daftar Pencarian O..artikel). Gede Prama, siapa yang tidak kenal beliau. Pembicara sekaligus Sang Resi dalam hal manajemen, bisnis dan kehidupan, tentu saja masuk list. Bukan karena alasan kesukuan, tetapi memang saya pribadi mengganggap beliau termasuk asset berharga bangsa ini. Uniknya, disebuah artikel beliau pernah bertutur kurang lebih begini….(kalau keliru sedikit mohon dimaafkan ya Bli Gede…sesama orang Bali..tentu punya T yang mantep). "Kalau Anda mau sukses Anda harus berani lebih dari orang lain. Jika orang lain punya satu gelar, Anda harus punya dua…dsb..dsb". For your info, Gede Prama memang punya dua gelar yang beliau dapat dari luar negeri sana. Artikel itu membuat saya ingin kuliah lagi. Sarjana rasanya tidak cukup lagi. Lebih afdol jika ditambah dengan sebuah gelar Master…minimal MM. Lama berselang. Beberapa bulan selanjutnya Sang Resi menulis sebuah artikel yang agak mencengangkan, bagi saya pribadi tentunya. Artikel itu berjudul : Sekolah Bikin Muntah ! Dalam artikel tersebut Gede Prama menyamakan sekolah dengan sebuah kebiasaan 'jaman doeloe' di Bali sana. Pembelajaran guru dengan murid, disamakan dengan seorang anak balita yang memakan makanan yang sudah dikunyah oleh ibunya. Beliau juga menyebutkan betapa mereka yang bersekolah lama-lama dan tinggi-tinggi sebagian besar berubah jadi semacam monster 'pinter' sekaligus dingin dengan paradigma kaku yang akhirnya jadi mesin sok tahu. Terlalu terstruktur jika dibandingkan dengan keacak-randoman permasalahan dalam dunia bisnis sekarang ini. Ada apa dengan Bli Gede sebenarnya…? Mungkin hanya beliau yang tahu pasti. Apakah dalam perjalanan hidup beliau bertemu suatu permasalahan yang hanya dapat dipecahkan dengan cara mengacak-acak otak pinter yang sudah kaku terstrutur ? Entahlah. Perjalanan saya tentunya masih seumur palawija jika dibanding dengan beliau.

Yang pasti jika boleh saja disimpulkan, sekolah umum sudah bukan lagi jamannya menjadi syarat dalam kehidupan ini. Bukan merupakan 'mas kawin' yang merupakan syarat mutlak sebuah perkawinan. Menjadi programer komputer misalnya, hanya membutuhkan seperangkat komputer dan buku-bukunya, tidak membutuhkan embel-embel S. Kom (Sarjana Komputer) yang muahaaaal padahal belum tentu menjadi jalan mutlak dan 'satu-satunya' bagi seseorang untuk sukses. Untuk yang satu itu sepertinya pengalaman pribadi . Hal yang sama berlaku untuk beberapa profesi yang lain, memang tidak semua. Untuk jadi Marketing misalnya, memang harus belajar marketing, tetapi tidak harus berijasah marketing. Untuk jadi pengusaha tidak mesti jebolan sekolah bisnis. Jika demikian berarti permasalahan BIAYA SEKOLAH yang seolah momok sebenarnya bukan kiamat bagi kaum kebanyakan. Punya uang ? Silakan sekolah. Nggak punya uang? Bukan masalah..ya nggak usah sekolah ! Belajarlah sendiri. Simple dan nggak perlu pusing. Ketidakmampuan bersekolah atau kuliah tidak perlu melahirkan gejala minder wader muter kompleks (istilah saya pribadi). Pertama-tama bagi sang anak, kedua bagi orang tua. Jangan sampai, syarat basi (baca : titel, gelar dsb) membuat banyak orang tua stress dan tampak menjadi tiga kali lebih tua dari umur sebenarnya. Memang, persoalan sekolah lebih-lebih saat sekarang ini, lebih mirip hantu dibanding malaikat. Biaya sekolah seolah mampu menciptakan garis tegas diantara miskin dan kaya. Disini peran orang tua kembali sangat dibutuhkan. Memberikan arah dan pencerahan bagi kaum muda. Kemandirian untuk dapat belajar sendiri. Era agraris dan industri sudah berlalu, zaman sudah berudah, meskipun gaya pendidikan sekolah masih monoton. Kita semua tentu berharap jangan sampai, era informasi dan hightech membuat sekolah tradisional tampak seperti babi gendut ditengah kumpulan kijang-kijang yang melompat indah kesana kemari. Atau seperti badut tambun diantara kontes perut sixpack sebuah produk susu para lelaki. Sudah saatnya urutan "WATI-BUDI-IWAN" jaman kuda dulu diacak atau diganti dengan "WARNO-ANGEL-IJAH" dan kalimat "INI BUDI" diganti dengan kalimat yang lebih kritis seperti "MANA WARNO ?"

Menutup tulisan ini ada sebuah cerita sederhana menarik yang menggelitik. Adalah seorang pelajar yang duduk dikelas dua SMA. Berasal dari keluarga sederhana dan sama sekali tidak pandai di sekolahnya. Kini sudah punya penghasilan jutaan rupiah perbulan dari hasil menjadi guru privat musik bagi anak-anak orang kaya. Berawal dari gitar 'cumi' tetangga (Cuma minjem), pemuda belia itu kini sudah mengambil alih peran orang tua dalam persoalan finansial. Jadi seandainya saja Anda sepakat dengan saya, sekolah tentunya bukan TUHAN yang akhirnya menjadi penentu satu-satunya jalan hidup Anda. Jika satu hal itu membuat hidup yang indah ini menjadi begitu membebani Anda dengan sejuta syarat. Gampang…kalikan dia dengan NOL..! (alias lupakan saja). Tidak ada selain TUHAN tentunya yang begitu menentukan dalam hidup ini, termasuk syarat berlebel : SEKOLAH. Semua ini tentunya bukan mengisyaratkan sentimen anti sekolah. Apalagi pelecehan terhadap profesi guru. Sama sekali tidak. Justru ini sebaiknya dipahami dalam kerangka yang lebih luas dan postif tentunya. Karena sampai kapanpun pendidikan dan pembelajaran selalu mutlak perlu, tetapi 'sekolah'..sangat-sangat relatif.

(*** mta : teriring hormat yang dalam untuk para guru dipedalaman sana, yang membuat kaum terbelakang dan miskin mengeyam manisnya pendidikan***)

Minggu, 09 Maret 2008

Revolusi Ala Fadel Muhammad

Seseorang dengan tujuan yang jelas, akan mampu membuat perubahan walaupun ia berada di jalan yang sulit, tapi seseorang tanpa tujuan yang jelas tidak akan mampu membuat perubahan walaupun ia berada di jalan yang mulus

(Thomas Charlyl)

Pemimpin adalah pengaruh! Begitu kata Jhon F. Kennedy. Lahirnya pemimpin tidaklah di monopoli oleh letak geografis suatu daerah, karena pemimpin lahir dari proses yang panjang. Dan yang paling utama adalah clear vision. Dengan tujuan yang jelas seseorang akan mampu di perjalankan menuju cita-citanya. Sebagaimana syair arab “ engkau menginginkan kesuksesan tapi engkau tidak berjalan pada jalannya, ketahuilah tidaklah mungkin kapal berlayar didaratan”.

Sebelum Gorontalo mendeklarasikan dirinya menjadi propinsi, ia bagaikan kota culun yang susah di jelajah dan dikenal walaupun dalam lembaran peta. Tapi, setelah ia berubah status, Gorontalo tidak hanya dikenal di tingkat lokal, namun hingga di luar negeri. Pada fase inilah Gorontalo tidak hanya dikenal damai masyarakatnya, namun menggerakkan siapa saja yang datang untuk mengikuti arus derasnya perubahan.

Fenomena ini tidak bisa dipisahkan dengan sosok baru yang tiba-tiba menjelma membawa Gorontalo pada ikon kota agropolitan, ikon yang banyak di tinggalkan oleh daerah lain yang lebih memilih metropolitan. Dialah Fadel Muhammad yang mimpinya ingin mewujudkan Gorontalo sebagai penyangga pangan nasional, saat bangsa ini lagi gemar mengimpor beras, kebijakan slum yang sudah mentradisi.

Sejak Gorontalo dipimpin Fadel, kota kecil ini menemukan posisinya sebagai rumah para petani, sehingga keberadaan kota dan desa bukan menjadi dinding pemisah, tapi sebuah jembatan yang mampu memerdekakan para petani yang selama ini hanya dijadikan main isssu saat kampanye. Dengan visi baru, menejemen baru jurusnya cukup ampuh, dengan gerakan satu juta ton jagung sebagai salah satu produk andalannya. Fadel mampu menyulap jagung Gorontalo menjadi “emas” yang bisa di jual kemana saja. Kalau dulu masyarakat hanya menjadikan jagung sebagai produk makanan bintebiluhuta (makanan khas Gorontalo yang terbuat dari jagung) kini Fadel mampu menyulap jagung menjadi “apasaja” yang dia mau.

Pengalamannya sebagai menejer atau pengusaha di perusahaan terkemuka, membuat Fadel cepat melakukan quantum dan penetrasi budaya perusahaan ke budaya pemerintahan yang terlalu birokratis, seperti bagaimana dia membuat interpreneur government, sebuah lompatan yang jarang dilakukan daerah lain, mungkin esok atau lusa, Fadel akan mewujudkan satu juta interpreneur, satu juta pemikir, satu juta menejer. Kalau anda mengunjungi daerah ini yakinlah sekarang tidaklah terlalu sulit, karena daerah ini sudah memberlakukan revolusi di bidang transportasi, yang setiap hari anda akan bisa mengunjungi kota Agropolitan Gorontalo yang sekarang lebih anggun nan cantik sebagaimana kata orang small is beautiful.

Sumber http://penjarah.blogspot.com

Sabtu, 05 Januari 2008

Naluri/Intuisi Bisnis DALAM Menjalankan Usaha (Bisnis)

“Naluri/Intuisi Bisnis”

DALAM

“Menjalankan Usaha (Bisnis)”

Allah Yang Maha Pencipta telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, yang tidak saja telah dilengkapi dengan HASRAT/KEINGINAN serta NALURI/INTUISI, akan tetapi juga dilengkapi dengan AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA serta KALBU/HATI-NURANI, sehingga dalam melakukan setiap perbuatan TIDAK HANYA dengan mengikuti HASRAT/- KEINGINAN serta NALURI/INTUISI begitu saja, akan tetapi juga dengan menggunakan AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA serta KALBU/ HATI-NURANI untuk terlebih dahulu menentukan TUJUAN (OBJEKTIF) dari melakukan perbuatan yang bersangkutan SEBELUM melakukannya.

Ketahuilah bahwa NALURI/INTUISI digerakkan oleh HASRAT/KEINGINAN, sedangkan HASRAT/KEINGINAN akan menjadi "liar" bila tidak dikendalikan dengan AKAL-SEHAT/- PIKIRAN-JERNIH, yaitu AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA yang TIDAK DIPENGARUHI oleh HASRAT/KEINGINAN akan tetapi DITUNJANG oleh KALBU/HATI-NURANI.

Malaikat tidak dilengkapi dengan HASRAT/KEINGINAN, namun dilengkapi juga dengan AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA serta NALURI/INTUISI, akan tetapi oleh karena tidak ada HASRAT/ KEINGINAN yang akan mempengaruhi, maka AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA serta NALURI/INTUISI akan SELALU MENGARAH KE TUJUAN (OBJEKTIF) dari setiap perbuatan yang akan dilakukan, yaitu PENGABDIAN kepada Allah Yang Maha Kuasa SEMATA-MATA.

Iblis diberi HASRAT/ KEINGINAN, akan tetapi tidak dianugerahi AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA sehingga dalam melakukan setiap perbuatan hanya berdasarkan NALURI/ INTUISI yang digerakkan oleh HASRAT/ KEINGINAN, yaitu untuk selalu MEMPENGARUHI MANUSIA agar ikut melakukan segala perbuatan yang dilakukannya.

Binatang malah hanya diberi NALURI/ INTUISI, sehingga setiap melakukan suatu perbuatan hanya berdasarkan NALURI/ INTUISI pada saat akan melakukan perbuatan yang bersangkutan.

Walaupun manusia adalah makhluk yang paling sempurna, namun yang menentukan tinggi rendahnya derajat kemanusian adalah kondisi "kesehatan-akal/ kejernihan pikiran" dari manusia yang bersangkutan. Bilamana pada suatu saat AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA seseorang sudah sangat dipengaruhi

oleh HASRAT/KEINGINAN untuk melakukan suatu perbuatan, maka pada saat itu "kesehatan-akal/ kejernihan pikiran" berada dalam kondisi yang “sangat parah”, sehingga AKAL/ PIKIRAN/NALAR/ LOGIKA tidak akan dapat berfungsi dengan baik dan HASRAT/KEINGINAN dengan segera akan mendorong orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan dengan segera pula (secara SPONTAN) berdasarkan NALURI/INTUISI yang ada, tanpa mempertimbangkan TUJUAN melakukannya.

Demikianlah, sehingga ada orang yang pada suatu saat sampai melakukan perbuatan yang lebih buas dari binatang yang paling buas sekalipun, sehingga derajat kemanusiannya pada saat itu menjadi paling rendah. Penyebabnya tidak lain karena AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/LOGIKA orang yang bersangkutan sudah tidak berfungsi sama sekali untuk mengendalikan HASRAT/ KEINGINAN-nya,

sehingga akibatnya HASRAT/KEINGINAN-nya-lah yang mengendalikan dirinya untuk berbuat apapun untuk memenuhi HASRAT/KEINGINAN-nya itu.

Kemampuan menggunakan AKAL/ PIKIRAN/NALAR/ LOGIKA untuk mengendalikan HASRAT/ KEINGINAN juga terlihat sangat berperan dalam diri seorang olah-ragawan dalam keberhasilannya memenangkan suatu pertandingan olah-raga. Setiap olah-ragawan pasti mempunyai HASRAT/ KEINGINAN untuk memenangkan setiap pertandingan olah-raga yang dihadapinya. HASRAT/ KEINGINAN tersebut akan memacu NALURI/ INTUISI yang kemudian menjadi dasar untuk melakukan sesuatu terhadap lawannya.

Sering kita lihat seorang olah-ragawan kalah dalam suatu pertandingan karena hanya mengikuti NALURI/ INTUISI. Oleh karena itu NALURI/ INTUISI saja tidak cukup bagi seorang olah-ragawan untuk memenangkan setiap pertandingan olah-raga. Olah-ragawan yang bersangkutan juga HARUS menggunakan AKAL/ PIKIRAN/ NALAR/ LOGIKA untuk MEMPELAJARI secepat kilat kondisi lawannya

dan dengan segera menentukan tindakan yang paling tepat untuk dilakukannya agar berhasil memenangkan pertandingan, sedangkan memenangkan pertandingan adalah merupakan TUJUANnya (OBJEKTIF-nya) mengikuti pertandingan.

Topik ini adalah salah satu topik yang DIBICARAKAN dalam “Pendidikan Bisnis” yang kami selenggarakan, karena “Naluri/ Intuisi Bisnis” saja tidak cukup untuk berhasil dalam “Menjalankan Usaha (Bisnis)”. Sekurang-kurangnya ada 2 hal yang dibicarakan dalam setiap topik dengan penekanan pada PERBEDAANNYA. Bila hal yang satu “berwarna hitam” dan hal yang lainnya “berwarna putih”, maka pada suatu saat akan timbul situasi dan kondisi yang “tumpang tindih” sehingga timbul hal baru yang “berwarna abu-abu (GRAY AREA)”.

Ketahuilah bahwa setiap GRAY AREA adalah “daerah bermasalah”, sehingga tanpa mengetahui PERBEDAAN-nya, maka dalam situasi dan kondisi tertentu akan SULIT untuk MENENTUKAN SIKAP dengan TEGAS kapan harus berwarna hitam” dan kapan harus “berwarna putih”, pada hal sangat

diperlukan agar berhasil dalam mengatasi masalah yang bersangkutan.

Bagi Anda yang merasa berminat untuk berpartisipasi dalam PENYELENGGARAAN "PENDIDIKAN BISNIS", baik sebagai PESERTA ataupun sebagai PENYELENGGARA, silahkan datang ke alamat kami untuk membicarakan kemungkinannya.

***